Mega merah menyeruak di balik pohon akasia senja itu. Aku berjalan
melintasi bangunan indah yang begitu asing ku rasa. Ya, inilah hari
pertamaku tingal di Bandung setelah 18 tahun lamanya di Jakarta. Dan ini
pula kehidupan baruku tanpa seorang ayah, dia memilih pergi
meninggalkan aku dan mama. Entahlah, aku tak paham dengan keadaan ini.
Di kanan jalan, ku lihat seorang gadis berbaju hijau muda dengan topi
bunga di kepalanya sedang duduk membelakangi jalan yang ku lintasi.
Sempat terfikir di benakku, apa yang sedang dia lakukan? Ah, tapi
biarlah itu bukan urusanku.
Aku terus menyusuri jalanan ini menuju rumah baruku. Dan setelah sampai, mama mengajakku makan.
“Billy, ayo makan dulu” ucap mama di ruang makan senja itu.
“Iya ma” aku menghampiri mama dan duduk di sampingnya.
Setelah selesai makan, aku beranjak menuju kamarku. Kamar baruku yang
tak jauh berbeda dengan kamar ku yang lama. Nuansa hijau tetap menjadi
penghuni setia untukku. Ku pandangi foto di samping tempat tidurku, ku
lihat papa tersenyum ke arahku. Dan ada Vanessa, gadis cantik, lucu dan
menggemaskan itu berada di gendongan papa. Aku sangat merindukan adikku
yang masih berumur 3 tahun itu. Dia adalah pengobat segala luka bagiku,
saat aku sedih, gundah dan galau karena putus cinta, Vanessa lah obat
mujarab yang mampu membuat ku tersenyum dalam keadaan apapun. Tapi kini?
Bahkan aku tak bisa mendengar suara manjanya yang menggemaskan. Aku
hanya bisa memandanginya di foto. Aku sangat merindukanmu Vanessa…
Tak terasa waktu berlalu, pagi yang cerah mengawali sekolah baruku di
Bandung. Teman-teman baru yang asing tapi menyenangkan. Dan di saat
senja, aku mencari udara segar untuk sesaat keluar rumah. Tak ku sangka
aku bertemu dengan gadis yang kemarin ku temui. Dia tetap berada di
kanan jalan duduk di kursi membelakangiku. Kali ini, ia mengenakan baju
ungu dan topi bunga seperti kemarin. Ku biarkan dia di situ, karena aku
memang tak mengenalnya.
Aku kembali pulang dengan perasaan bertanya-tanya dalam hati. Siapa
gadis itu? Dan apa yang dia lakukan di sana setiap senja? Tapi, ah
sudahlah itu tak penting. Namun pada keesokan harinya, saat senja mulai
datang aku datang ke tempat gadis misterius untuk sekdar memastikan
apakah dia ada disana atau tidak. Aku berjalan karena tempatnya tak jauh
dari rumahku, dan ternyata seperti duganku dia duduk sendiri disana.
Dan kali ini aku tak dapat menahan rasa penasaranku terhadapnya.
Kuhampiri gadis itu, lalu aku duduk di sampingnya. Dia mnoleh ke arahku,
lalu aku tersenyum.
“Maaf, apa kau tidak keberatan jika aku duduk disini?” ucapku hati-hati.
“Iya silahkan, no problem.” Ucapnya dengan tersenyum. Setelah ku
perhatikan wajahnya, kurasa dia seperti bule. Ada darah campuran Belanda
mungkin?
“Boleh aku tahu siapa namamu?” tanyaku.
“Boleh. Aku Angel, dan kau?”
“Aku Billy, rumahku tak jauh dari sini. Kebetulan aku penghuni baru disini.”
“Sudah ku duga itu, wajahmu terasa asing bagiku. Rumahku juga tak begitu jauh dari sini. Kenapa kau pindah kesini?”
“Keluargaku terpisah karena problem yang masih membuatku bingung sampai
saat ini. Aku memilih bersama mama disini, dan papa membawa adik
kesayanganku tinggal bersamanya di Jakarta. Dan bagaimana dengan
keluargamu? Apa kau punya darah campuran Belanda?” tanyaku ingin tahu.
“Iya benar sekali, my mom asli Indonesia sedangkan my dad orang Belanda.
Tapi mereka tinggal di Belanda sedang aku disini dengan nenekku.”
“Tapi sepertinya kau tak memiliki bola mata berwarna seperti kebanyakan
orang Bule atau Blasteran? Lalu rambutmu pun juga hitam, tidak pirang.
kenapa begitu?”
“Aku memang suka warna hitam, jadi aku memakai softlens warna hitam dan mewarnai hitam pada rambut pirangku.” Jawabnya.
“Ow begitu? Lalu, apa yang kau lakukan disini setiap senja?”
“Aku hanya melihat indahnya pelangi senja di ujung cakrawala di atas
sana. Lihatlah bukankah itu indah sekali?” jari telunjuk Angel mengarah
menunjuk warna-warni pelagi. Memang terlihat indah.
“Hari sudah mulai gelap, apa kau tak ingin pulang?” tanyaku.
“Baiklah, mari kita pulang.” Ajaknya. Lalu kami beranjak dari tempat duduk dan pulang ke arah masing-masing.
Dan sejak saat itu, setiap sore aku mendatangi tempat dimana aku bisa
melihat indahnya pelangi senja bersama Angel, gadis berdarah campuran
Belanda yang cukup mempesona setiap pasang mata yang melihatnya. Dan
setelah cukup lama kami berteman, kurasa ada secuil atau bahkan mungkin
sebongkah cinta yang bersemi di hatiku. Dan di malam ini, aku
mengajaknya dinner di suatu cafe.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Angel
“Sangat disayangkan jika tak memandang bidadari cantik asal Belanda yang
ada di depan mata…” kataku dengan nada jahil. Angel tersenyum sesaat
lalu tertunduk.
“Billy, ada yang ingin aku sampaikan padamu,”
“Silahkan, aku akan menjadi pendengar yang baik saat kau bicara.”
“Bill, boleh aku jujur padamu?” ucap Angel lembut dan menyentuh tanganku.
“Sangat boleh, katakan saja.” Ku genggam tangan Angel.
“Harus ku akui, aku menyukaimu sejak saat pertama melihatmu. Mungkin
hanya gadis buta yang tak tertarik padamu. Tapi Bill… aku sangat
menyesal” Angel terdiam sejenak.
“Menyesal kenapa?”
“Aku menyesal karena telah… membohongimu.” Ucap Angel lirih.
“Tentang?”
“Aku bukan gadis berdarah campuran Belanda, ibuku pergi setelah
melahirkanku, dan aku tak memiliki ayah. Aku anak haram, tak ada yang
mau berteman denganku. Maaf telah membohongimu.” Ternyata kata-kata
Angel cukup membuatku sesak. Tak kusangka ternyata dia seorang
pembohong.
“Puas!? Puas kau sekarang? Tak ku sangka ternyata kau tak lebih dari
seorang pembohong!” ucapku emosi, lalu ku tinggalkan Angel yang
menitikkan air mata.
“Tapi aku mencintaintaimu Bill..” suara Angel berlalu di telingaku.
Aku pulang dengan hati kecewa, dan sejak saat itu aku tak pernah lagi
bertemu dengan Angel meski dia berulang kali mendatangi rumahku tapi
percuma, aku tak mau menemuinya. Dan tak terasa sudah tiga minggu
berlalu, ternyata aku sangat merindukannya. Betapa egoisnya aku yang tak
bisa memaafkan, padahal aku bukan siapa-siapa, Allah saja mau memaafkan
dosa-dosa hambanya. Kenapa aku sekejam ini pada Angel?
Suara Westlife berbunyi dari ponselku. Angel memanggil.
“Halo…” ucap seseorang di seberang sana, yang pasti bukan suara Angel.
“Halo, siapa?” tanyaku.
“Apa benar anda teman dari pemilik nomor ini?”
“Iya benar, ada apa?” entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Pemilik ponsel ini baru saja mengalami kecelakaan dan sedang dibawa di rumah sakit Anggrek 5.”
Tuut… tuuut.. tut sambungan terputus. Aku langsung bergegas mengendarai mobil dan dengan secepat kilat menuju rumah sakit.
Beberapa menit setelah itu aku telah sampai dan berlari mencari ruang
Angel dirawat. Ku lihat dia terbaring lemah dengan infus dan perban
putih yang melilit kening kepalanya. Aku duduk di sampingnya, ku genggam
tangan dinginnya.
“Angel, buka matamu please.. aku disini untukmu. Ku mohon sadarlah.”
Ucapku lembut seraya mencium punggung telapak tangannya. Dan perlahan
kelopak mata Angel terbuka. Lalu tersenyum setelah melihatku.
“Billy, kau disini? Kenapa matamu berair?” Angel mengusap setetes air mataku.
“Maafkan aku, aku yang salah selama ini. Dan aku baru menyadarinya.”
“Tak apa, aku yang bersalah karena telah membohongimu agar kau mau berteman denganku.”
“Angel… aku mencintaimu, sungguh aku tak bisa sedetik pun tanpa memikirkanmu. Mau kah kau menjadi kekasihku?” kataku jujur.
Angel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Aku sangat bahagia hari
itu. Dan setelah Angel diperbolehkan untuk pulang, di setiap senja aku
menemani Angel dengan kursi rodanya untuk melihat indahnya pelangi senja
di ujung cakrawala.
The End
Cerpen Karangan: Zulfa Allay
Facebook: Afluz Fujiyama Cullen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar